Sejatinya Manusia
Di saat kita bercermin, kita akan melihat banyangan
tubuh kita dicermin. Ketika kita menggerakkan anggota badan kita, maka bisa
dipastikan banyangan itupun ikut bergerak. Dan Jika kita diam, maka bisa
dipastikan pula bayangan itupun ikut diam. Bayangan kita tidak bisa bergerak
dengan sendirinya, ia hanya mampu bergerak jika si empuhnya banyangan itu
bergerak.
Ketika kita
melihat bayangan diri kita dicermin, spontanitas dalam hati kita mengatakan
bahwasanya “bayangan itu adalah saya”. Pernahkah kita bertanya, yang manakah
diri kita? “yang di dalam cermin atau yang bercermin”. Sejatinya bayangan kita
bukanlah kita yang sesungguhnya, adanya banyangan itu adalah nisbi dan
tergantung pada sesuatu yang menimbulkan bayangan tersebut.
Bahwa sejatinya manusia merupakan cerminan atau
bayangan dari wujud-Nya (dalam kitab Sirul Asrar). Manusia tidak mampu
meng ’ada’ kan dirinya sendiri, jika tidak diadakan oleh-Nya. Dan manusia tidak
mampu ‘bergerak’ jika tidak digerakkan oleh-Nya. Manusia adalah ‘bayangan’-Nya.
Sebagai bayangan, tentu manusia bukanlah “DIA”. Sebagai bayangan tentu tidak
sama dengan “DIA”. Sebagai bayangan tentu tidak ‘menjadi’ satu dengan-Nya.
Namun sebagai ‘bayangan’, manusia bisa “manunggal” kepada-Nya.
Cara “manunggal” kepada-Nya adalah dengan rasa, karena
kehadiran dan keberadaan-Nya adalah sangatlah rahasia. Tidak bisa dijangkau
oleh indra lahiriah kita, dan hanya dengan “rasa” kehadiran dan keberadaan-Nya bisa dikenali dan
diketahui.
Rasa ini sifatnya ghoib, tidak bisa terlihat atau
tercium oleh indra lahiriah kita, tidak bisa dijelaskan oleh huruf dan
kata-kata, hanya bisa dirasakan oleh orang yang sudah merasakan. Seperti
manisnya gula. Bisa merasakan manisnya gula, apabila sudah mencicipinya. Kita meyakini
bahwa rasa gula itu manis, tetapi kita tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata
tentang manis itu bagaimana, seperti apa, sebelum dirinya sendiri mencicipi
gula. Jadi rasa itu ghoib, tetapi ada, adanya hanya bisa dirasakan.