PENDEKAR SAKTI
Pendekar
Sakti. Ya kali ini saya tidak seperti biasanya yang menulis suatu artikel
tentang pengetahun Hipnotis, Hipnoterapi, Meditasi, Tenaga Dalam atau Meraga
Sukma (Astral Projection). Mungkin karena lamunan kerinduanku pada sosok
almarhum Ayah, aku teringat akan kebersamaan bersama beliau. Masing teringat
betul dalam ingatanku, almarhum Ayahku suka menceritakan hal-hal yang
bersejarah dalam kehidupannya dimasa lalu, dan hal inilah yang menggelitik
pikiranku untuk menulis cerpen tentang cerita Ayah yang mengkisahkan tetang Cak
Mustaqim, agar terkesan cerpen ini berhubungan dengan website yang ada, maka
judul cerpen ini aku beri judul PENDEKAR SAKTI.
Lansung
aja ya.........
Mendengar
cerita-cerita tentang tokoh yang akan aku ceritakan ini, baik dari Ayah atau
kawan-kawannya seangkatan di pesantren, aku diam-diam mengaguminya. Bahkan
seringkali aku membayangkannya seperti Superman, Spiderman, atau si pesulap David
Copperfield. Wah, seandainya aku berkesempatan bertemu dengannya dan dapat satu
ilmu saja, lamunku selalu. Ayah maupun kawan-kawannya selalu menyebutnya dengan
Cak Mustaqim. Tidak ada yang menyebut namanya saja. Boleh jadi karena faktor
keseniorannya atau karena ilmunya
Kiai
Kholik, guruku ngaji Quran dan salah seorang kawan Ayah di pesantren, paling
semangat bila bercerita tentang Cak Mustaqim. Aku dan kawan-kawanku paling
senang mendengarkannya, apalagi Kiai Kholik bila bercerita tentang tokoh yang
dikaguminya itu acapkali sambil memperagakannya. Misalnya ketika bercerita
bagaimana Cak Mustaqim dikeroyok para begal, Kiai Kholik memperagakan dengan
memperlihatkan jurus-jurus silat. "Cak Mustaqim itu pendekar yang ilmu
silatnya komplit," katanya terengah-engah.
"Yang
saya peragakan itu tadi jurus silat Cibadak. Jurus yang digunakan Cak Mustaqim
membekuk tujuh begal yang mencegatnya di perjalanan. Tujuh orang dan Cak
Mustaqim sendirian. Bayangkan! Kami sendiri, saya dan beberapa kawan yang
berminat, setiap malam Jumat dia ajari jurus-jurus silat dari berbagai cabang.
Tapi mana mungkin bisa seperti dia? Dia itu bahkan mempunyai ilmu cicak. Bila
sedang bersilat, bisa nempel dan merayap di dinding."
Ayah
sendiri sering juga bercerita tentang Cak Mustaqim, tapi tidak dengan
memperagakannya seperti Kiai Kholik. "Nggak tahu, dia itu ilmunya dari
mana?" kata Ayah suatu hari ketika sedang bercerita tentang kawannya
yang disebutnya jadug itu. "Di samping menguasai ilmu silat, ilmu
hikmahnya aneh-aneh. Hanya dengan merapalkan bacaan aneh campuran bahasa Arab dan
Jawa, dia bisa membuat tidur seisi mushalla. Pernah dia menjadi tontonan orang
sepasar gara-gara dia dihina penjual lombok lalu lombok satu pikul dimakannya
habis. Dia tidak apa-apa, tapi penjualnya kemudian yang murus. Kata
kawan-kawan, dia juga bisa memanggil burung yang sedang terbang di udara dan
ikan di dalam sungai."
"Kata
Kiai Kholik, Cak Mustaqim juga bisa menghilang, betul Yah?" tanya saya. Ayah
tersenyum dan pandangannya seperti menerawang ke masa lalunya. "Pernah
beberapa kawan diajarinya ilmu panglimunan entah apa. Pokoknya ilmu untuk
menghilang. Mereka disuruh puasa tujuh hari mutih, dan satu hari pati geni,
artinya bukanya hanya dengan nasi tanpa lauk apa-apa. Lalu ada satu malam
ngebleng, semuanya tidak boleh tidur sama sekali. Ayah juga ikut."
Ayah
berhenti sejenak, tersenyum-senyum sendiri, mungkin terbawa kenangan masa
lalunya, baru kemudian melanjutkan ceritanya. "Dari sekian orang yang
ikut program panglimunan itu, hanya Ayah yang gagal. Ayah tahu kalau gagal,
ketika ilmu itu dipraktikkan. Hari itu, kami beramai-ramai, di bawah pimpinan
Cak Mustaqim sendiri, datang ke toko Cina yang terkenal paling galak di kota
Gresik. Cak Mustaqim berpesan siapa pun di antara kami yang nanti di toko masih
melihat orang lengkap dengan kepalanya, jangan sekali-kali mengambil sesuatu.
Karena tandanya kalau kami sudah benar-benar hilang, tidak terlihat orang,
yaitu apabila kepala semua orang tidak tampak. Dan ingat, kata Cak Mustaqim,
kita bukan niat mencuri tapi mengamalkan ilmu. Jadi ambil barang seadanya dan
yang murah-murah saja."
Ayah
berhenti lagi, tersenyum-senyum lagi, baru sejurus kemudian melanjutkan.
"Wah, saya lihat waktu itu kawan-kawan ada yang mengambil sabun, ada yang
mengambil potlot, sisir, minyak rambut, dan lain-lain. Kholik, guru Quranmu
itu, malah sengaja mengambil manisan yang terletak persis di depan Cina pemilik
toko yang galak itu. Anehnya, baik si pemilik toko maupun pelayan-pelayannya,
seperti tidak melihat apa-apa. Setelah mengambil barang-barang itu, kawan-kawan
ngeloyor begitu saja dan tak ada yang menegur.
Saya
yang malah ditanya Cak Mustaqim, kenapa saya tidak mengambil apa-apa? Saya
menjawab bahwa saya masih melihat kepala semua orang yang ada di toko. Jadi,
sesuai pesan Cak Mustaqim sendiri, saya tidak berani mengambil apa-apa.
'Sampeyan kurang mantap sih!' komentar Cak Mustaqim. Memang terus terang, waktu
itu sebelum menyaksikan sendiri adegan di toko itu saya tidak percaya ada ilmu
panglimunan, ada orang bisa menghilang, cetus Ayahku.
Tiba-tiba
dari kejahuan, terdengar suara ibu......
Ya,
Ayah ada tamu..!!!
"Ada
tamu ya, Bu?!"
tanyaku kepada ibuku yang sedang sibuk membenahi kamar tamu.
"Ya", jawab ibu tanpa
menoleh
"Kawan
lama Ayahmu di pesantren. Beliau akan menginap beberapa malam. Mungkin mau kangen-kangenan
sama Ayahmu. Dengar itu, tawa mereka."
"Ya,
asyik benar tampaknya," timpalku.
"Tamu
dari mana sih, Bu?"
"Kata
Ayahmu tinggalnya sekarang di luar Jawa. Namanya Mustaqim atau siapa?!"
"Mustaqim?" tanya aku setengah
berteriak.
"Ee,
jangan berteriak!" bisik ibu.
Tapi
aku sudah bergegas meninggalkannya. Dari gorden jendela aku mengintip ke ruang
tamu. Sekejab aku jadi ragu-ragu. Tamu Ayah tidak seperti yang aku bayangkan.
Tidak gagah, malah terlihat kecil sekali di depan Ayahku. Kurus lagi. Ah,
jangan-jangan ini bukan Mustaqim sang pendekar yang sering diceritakan Kiai
Kholik. Masak kerempeng begitu. Tapi setelah nguping, mendengar pembicaraan
Ayah dan tamunya itu sebentar, aku menjadi yakin memang itulah sang Superman,
Cak Mustaqim. Apalagi tak lama kemudian Kiai Kholik datang dan saling
berpelukan dengan si tamu. Nanti malam, aku harus menemuinya, kataku mantap
dalam hati. Aku harus mendapatkan salah satu ilmu hikmahnya.
Kebetulan
sekali, malam ketika Ayah akan mengajar ngaji, aku dipanggil dan katanya,
"Kenalkan, ini kawan Ayah di pesantren, Cak Mustaqim yang sering Ayah
ceritakan! Kawani dulu beliau sementara Ayah mengaji." Begitu Ayah pergi,
aku segera menjabat tangan orang yang selama ini aku idolakan. Beliau menerima
tanganku dengan menunduk-nunduk penuh tawadluk.
"Gus,
putra ke berapa?" tanyanya dengan suara lembut.
"Nomor
dua, Kiai!"
jawabku sambil terus mengawasinya.
"Jangan
panggil saya kiai!" katanya bersungguh-sungguh. "Saya bukan kiai.
Saya memang pernah mondok di pesantren bersama Ayahanda Gus, tapi tidak seperti
Ayahanda Gus yang tekun belajar. Saya di pesantren hanya main-main saja."
Aku
tidak begitu menghiraukan apa yang beliau katakan, aku sudah punya rencana
sendiri dari tadi. Mengapa harus ditunda, inilah saatnya, mumpung hanya berdua.
Kapan lagi?
"Bapak
Mustaqim,"
kata saya sengaja mengganti sebutan kiai dengan bapak, "sebenarnya saya
sudah lama mendengar tentang Bapak, baik dari Ayah maupun yang lain. Sekarang
mumpung bertemu, saya mohon sudilah kiranya Bapak memberi ijazah kepada saya
barang satu atau dua dari ilmu hikmah Bapak."
Mendengar
permohonan saya, tiba-tiba tamu yang sejak lama aku harapkan itu menangis.
Benar-benar menangis sambil kedua tangannya menggapai-gapai.
"Jangan,
jangan, Gus! Gus jangan terperdaya oleh cerita-cerita orang tentang bapak.
Apalagi kepingin yang macam-macam seperti yang pernah bapak lakukan”.
“Biarlah
yang menyesal bapak sendiri. Jadilah seperti Ayahanda saja. Belajar, ngaji yang
giat. Dulu Ayahanda Gus pernah sekali ikut dengan kegilaan masa muda bapak,
tapi gagal. Mengapa? Bapak rasa karena Ayahanda memang tidak serius. Beliau
hanya serius dalam urusan belajar dan mengaji. Dan sekarang, lihatlah bapak dan
lihatlah Ayahanda Gus! Ayahanda Gus menjadi kiai, sementara bapak
lontang-lantung seperti ini. Kawan-kawan bapak yang dulu ikutan bapak mendalami
ilmu-ilmu kanuragan seperti ini rata-rata kini hanya jadi dukun. Ini masih
mendingan, ada yang malah menggunakan ilmu itu untuk menipu masyarakat dengan
mengaku-aku sebagai wali dan sebagainya. Orang awam yang tidak tahu, mana bisa
membedakan antara karomah dan ilmu sulapan seperti itu?"
Aku
tidak bisa ceritakan perasaanku melihat orang yang selama ini kukagumi
menangis. Masih terdengar sesekali isaknya ketika beliau melanjutkan.
"Ayahanda
dan Kiai Kholik pasti tak pernah cerita bahwa bapak ini pernah dinasihati
seorang singkek tua. Karena memang bapak tak pernah menceritakannya kepada
siapa pun. Sekarang ini bapak ingin menceritakannya kepada Gus. Mau
mendengarkan?"
Saya
hanya bisa mengangguk.
"Pernah
dalam suatu perjalanan bapak, bapak kehabisan sangu. Bapak pun mampir ke sebuah
toko milik seorang singkek yang sudah tua sekali. Begitu masuk toko, bapak
rapalkan aji panglimunan bapak. Semua pelayan dan pelanggan yang ada tak ada
yang bisa melihat bapak. Bapak langsung menuju ke meja si singkek tua yang
terlihat terkantuk-kantuk di kursi tingginya. Pelan-pelan aku buka laci
mejanya, tempat ia menyimpan uang. Bapak ambil semau bapak. Si singkek tua
tidak bergerak. Namun begitu tangan bapak akan bapak tarik dari laci, tiba-tiba
tangan keriput si singkek tua memegangnya dan langsung seluruh tubuh bapak
lemas tak berdaya”.
'Ilmu
begini, kok kamu pamel-pamelkan,' katanya hampir tanpa membuka mulut. "Ini
yang kamu peloleh sekian lamanya belajal, he?! Kasihan kamu olang! Ilmu mainan
anak-anak begini untuk apa? Paling-paling buat gagah-gahahan ha. Siapa yang
nganggep kamu gagah? Anak-anak kecil sama olang-olang bodoh dan olang-olang
jahat saja ha! Ada olang pintel kagum sama kamu olang? Ada? Siapa? Olang hidup
apa nyang dicali? Olang hidup cali baik buat dili sendili, kalau bisa buat
olang lain. Cali senang sendili, jangan bikin susah olang lain ha!”.
Pendek
kata, habis bapak dinasehati. Setelah itu bapak dikasih uang dan disuruh pergi.
Sejak itulah bapak tidak pernah lagi mengamalkan ilmu-ilmu gila bapak. Nasihat
yang bapak dapat dari singkek tua itu sebenarnya hanyalah memantapkan apa yang
lama bapak renungkan tentang kehidupan bapak, tapi bapak selalu ragu."
Pak
Mustaqim memegang kedua tanganku penuh sayang. Katanya kemudian, "Kini
bapak sudah mantap. Jalan yang bapak tempuh kemarin salah. Mestinya sejak awal
bapak mengikuti jejak Ayahanda Gus. Karena itu, Gus, sekali lagi, ikutilah jejak
Ayahanda dan jangan mengikuti jejak bapak ini. Carilah ilmu yang bermanfaat
bagi diri Gus dan bagi sesama!. Ilmu (baca. Kelebihan) semacam itu akan datang
dengan sendirinya, walaupun Ayahanda Gus tidak perna ikut-ikutan belajar sesat
seperti bapak, namun toh akhirnya Ayahanda Gus memiliki kelebihan juga,
terbukti banyak tamu yang meminta bantuan kepada Ayahanda Gus, itu barangkali
yang di sebut dengan karomah”.
Aku
tidak sempat memberi komentar apa-apa karena keburu datang Kiai Kholik dan
beberapa tamu kawan lamanya yang lain. Tapi aku masih mempunyai banyak waktu
untuk merenungkan nasihatnya.